FORUM MANDAILING

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
FORUM MANDAILING

ro ho, ro au , rap ro ma hita, rap ro rap ra

ambukon mada gut-gut i

HORAS TONDI MATOGU PIR TONDI MADINGIN

kepada seluruh pengunjung forum mandaling yang terhormat, forum ini belum memiliki moderator untuk mengendalikan seluruh thread dengan beberapa kategori, di mohonkan tu koum-koum yang luang waktu untuk dapat bergabung menjadi moderator forum ini, hanya membutuhkan loyalitas dan pengetahuan tentang mandailing agar forum ini bisa berkembang ke depannya, terimakasih

    MARTABE OLEH BASYRAL HAMIDY HARAHAP

    avatar
    Admin
    Admin


    Jumlah posting : 22
    Reputasi-mu : 0
    Join date : 22.02.11

    MARTABE OLEH BASYRAL HAMIDY HARAHAP Empty MARTABE OLEH BASYRAL HAMIDY HARAHAP

    Post  Admin Wed Mar 02, 2011 8:38 pm

    Pengantar

    Martabe adalah istilah yang populer di Sumatera Utara sejak tahun 1988. Kata itu merupakan singkatan dari kalimat dalam bahasa Angkola-Mandailing dan Batak Toba Marsipature Hutana Be, artinya membangun kampung masing-masing. Kata tersebut dipopulerkan oleh Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, pada tahun pertama masa baktinya yang pertama, 1988, dengan melembagakannya menjadi Gerakan Pembangunan Desa Terpadu Marsipature Hutana Be.

    Martabe merupakan bagian dari proses demokratisasi masyarakat. Masyarakat mempunyai peluang mengamalkan nilai-nilai luhur budayanya dalam proses pembangunan. Dengan Martabe, kekuatan solidaritas didorong untuk bangkit. Serentak dengan bangkitnya kekuatan solidaritas itu, bangkit pula kesadaran kritis yang mampu mendorong sinergi gerak pembangunan di antara sesama anggota komunitas masyarakat dengan pemerintah sebagai tuan rumah pembangunan.

    Asal muasal istilah Martabe, bermula dari suatu seminar kebudayaan Batak di Bandung pada bulan Desember 1986 yang disponsori oleh Panglima Divisi Siliwangi Mayjen. TNI Raja Inal Siregar. Saya adalah salah seorang peserta seminar itu. Usai seminar, dibentuklah satu tim beranggotakan 12 orang yang bertugas menilai kelayakan penerbitan semua makalah seminar itu. Saya termasuk di antara Tim 12 orang itu. Tim ini berkesimpulan bahwa semua makalah tidak layak diterbitkan. Maka, kepada anggota Tim 12 ditugaskan untuk menulis karangan sendiri yang kiranya layak diterbitkan.

    Ternyata Tim 12 tidak berhasil menulis karangan masing-masing. Tim 12 bubar. Sebagai gantinya dibentuk Tim 4 beranggotakan empat orang yang sebelumnya adalah anggota Tim 12, ialah: saya sendiri, Basyral Hamidy Harahap, dari Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) di Indonesia, Hotman M. Siahaan dari Universitas Airlangga, Usman Tampubolon dari Universitas Gajah Mada, dan Ponpon Harahap dari Universitas Padjadjaran. Tim 4 bekerja menulis masing-masing karangannya. Tim 4 beberapa kali bertemu di Jakarta dan Bandung untuk merembukkan dan menulis karangan masing-masing. Tetapi ternyata, hanya dua orang yang berhasil menulis naskah buku, ialah saya sendiri dan Hotman M. Siahaan.



    Hal ini terjadi karena Ponpon Harahap sangat sibuk menggarap disertasinya berjudul Sistem Motif Agresi Pada Remaja: Suatu Studi Mengenai Cerminan Adat Dalam Praktek Pengasuhan Anak, Terhadap Pembentukan Sistem Motif Agresi, pada Remaja Batak Toba di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Sedangkan Usman Tampubolon mengundurkan diri karena tidak sepaham tentang gaya penulisan buku. Usman Tampubolon berpendirian, bahwa buku ini haruslah buku ilmiah dengan memakai bahasa ilmiah yang hanya dapat dibaca dan dipahami oleh orang terpelajar. Saya tidak sependapat dengan Usman Tampubolon. Sebab menurut pendapat saya, karya ilmiah dapat ditulis dengan bahasa surat kabar agar khalayak ramai mudah membacanya. Pendapat saya sesuai dengan pendapat Raja Inal Siregar sendiri. Hotman M. Siahaan pun setuju. Maka akhirnya Tim ini hanya terdiri dari dua orang, ialah saya dan Hotman M. Siahaan.

    Kami berdua bekerja keras menyusun naskah buku. Hotman M. Siahaan menulis teori sosiologi dan antropologi yang diterapkan untuk memahami sikap dan perilaku orang Batak Toba. Sedangkan saya menyiapkan naskah analisis kata demi kata 300 ungkapan tradisional Batak Toba dan 300 ungkapan tradisional Angkola Mandailing. Analisis itu dikonfirmasikan dengan observasi dan keterlibatan dalam kehidupan sehari-hari Batak Toba dan Angkola Mandailing.

    Hotman M. Siahaan menyerahkan naskah tulisannya untuk saya sunting. Kedua naskah inilah yang kemudian menjadi buku Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak: Suatu Pendekatan Terhadap Perlilaku Batak Toba dan Angkola Mandailing. Pada hakikatnya buku ini ingin menjawab satu pertanyaan, ialah: “Apakah yang terpenting dalam hidup orang Batak Toba dan Angkola Mandailing menurut orang Batak Toba dan Angkola Mandailing sendiri ?

    Hotman M. Siahaan menulis Bab I s.d. Bab IV, halaman 23 s.d. 109 ditambah daftar masyarakat adat halaman 110 s.d. 132 yang dikutipnya dari buku Ypes halaman 539 s.d. 553, ialah: Bab I Pendahuluan, Bab II Kebudayaan Religi Orang Batak: Mulajadi Na Bolon, Bab III Kebudayaan Ekonomi Batak: Parrengge-rengge, Bab IV Kebudayaan Birokrasi Batak: Sebagai Konsep Genealogis.

    Saya menulis Bab V s.d. Bab VIII, halaman 133 s.d. 341, ialah: Bab V Nilai Budaya Batak, Bab VI Orientasi Nilai Budaya Batak Toba dan Angkola Mandailing, Bab VII Ungkapan Tradisional Batak Toba, Bab VIII Ungkapan Tradisional Batak Angkola Mandailing. Saya berasumsi, bahwa ungkapan tradisional adalah rekaman pandangan hidup suatu bangsa yang sejak bangsa itu ada terus mengamalkannya sampai sekarang. Berangkat dari asumsi inilah saya mencoba menelaah kata demi kata 300 ungkapan tradisional Batak Toba dan 300 ungkapan tradisional orang Angkola Mandailing.

    Di samping itu kami membuat konsep Rekomendasi pada halaman 1 s.d. 21 sebagai saran pendekatan kebudayaan dalam melaksanakan pembangunan di Sumatera Utara. Saya menyumbangkan Sub Bab 2: Pembangunan Sebagai Horja. Hotman M. Siahaan dengan gayanya yang khas menulis topik yang sudah kami sepakati itu di dalam Bab Rekomendasi. Hotman M. Siahaan menyerahkan naskah Rekomendasi dan Bab I s.d. Bab IV untuk saya sunting dan satukan dengan naskah yang saya tulis. Seterusnya saya menyiapkan pencetakan buku ini sebanyak 5.000 eksemplar.


    Marsipature Hutana Be

    Konsep Pembangunan Sebagai Horja, halaman 6 s.d. 9, menjiwai gerakan Martabe. Pada saat mempersiapkan naskah buku ini, saya berkali-kali diundang oleh Mayjen TNI Raja Inal Siregar untuk membahas berbagai masalah seputar perilaku orang Batak Toba dan Angkola Mandailing. Dalam diskusi berdua yang biasanya berlangsung di ruang kerjanya selama berjam-jam kami membahas kiat-kiat melakukan pendekatan kebudayaan kepada berbagai etnis di Sumatera Utara, khususnya Batak Toba dan Angkola Mandailing.

    Berbagai sifat dan perilaku negatif kami bahas, antara lain empat huruf yang membentuk tiga kata dalam bahasa Batak Toba, ialah huruf a, e, l, dan t, ialah: elat, late, dan teal. Ketiga kata ini ditambah lagi dengan kata keempat ialah hosom yang populer di kalangan kedua puak Batak itu yang berarti dendam. Kata kelima ialah gutgut satu kata yang populer di dalam masyarakat Angkola Mandailing yang secara harfiah berarti nyinyir. Lima kata itu mempunyai arti yang negatif.

    J. Warneck dalam kamus Toba-Batak ─ Deutsches Wörterbuch menerjemahkan kata-kata itu dalam bahasa Jerman dan saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
    Elat, mangelati, jemand durch Kränken von etwas abhalten, artinya seseorang menghalangi orang lain dengan cara menyinggung atau menyakiti; elat ni roha, Neid, artinya rasa iri hati, rasa dengki. Late, I. Neid, Missgunst; neidisch, artinya rasa iri hati, rasa dengki, kecemburuan, kedengkian, dendam, sakit hati; late ni roha, Neid, atinya rasa iri hati; Neid; marlate ni roha, neidisch sein, beriri hati; mangalatei, jemand beneiden, artinya mencemburui seseorang; masilatean, sich gegenseitig beneiden, artinya saling membuat iri. II. Malate, Risse bekommen, von Holz, artinya patah (kayu, pohon); hau parlate, Holz, das leicht Risse bekommt, artinya kayu yang mudah patah, rapuh.
    Teal, heruntersinken, von einer Waagschale, artinya membenamkan, menafikan, memendam yang benar dan nyata; na teal so hinallung, gross tun, ohne das etwas dran ist, berbuat banyak padahal bukan wewenangnya; na teal panghulingmu, deine Art zu sprechen ist unpassend, cara bicaramu tidak senonoh ; na teal martigatiga, ungeschickt im Handel, kurang terampil dalam berniaga; manealhon, jemand herunterziehen, verfüren, verleiten, membujuk, mengojok-ojok, menyesatkan; manealneal, ein Stück Fleisch an einem Strick aufgehängt tragen, menggunakan sesuatu untuk menjerat, menjebak seseorang; marsiteali, verschieden schwer sein, von den vorn und hinten an der Tragstange befestigten Teilen der Last, menyusahkan orang lain dari depan dan dari belakang. Hosom, feindlich gesinnt, vol Hass, dendam, bermusuhan, bertentangan, berlawanan. Gutgut berarti nyinyir, dengki, iri hati, dendam.

    Semua penyakit hati ini, elat, late, teal, hosom, dan gugut, merupakan hambatan kultural dalam proses pembangunan.
    “Jadi bagaimana cara mengatasinya?”tanya Mayjen TNI Raja Inal Siregar.
    “Dengan mengamalkan ayat Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 148, ialah fastabiqul khairaat, yang artinya berlomba-lomba berbuat kebajikan,” jawab saya.

    Dari sinilah timbul kata-kata marsipature hutana be. Saya lebih lanjut menjelaskan konsep fastabiqul khairaat itu sebagai berikut:
    “Jadi, kebiasaan berpikir, bersikap dan berperilaku elat, late, teal, hosom dan gutgut, yang negatif itu dirubah arahnya menjadi berpikir, bersikap dan bertindak positif. Caranya adalah mendorong masyarakat untuk berlomba-lomba membangun kampung masing-masing. Persaingan sehat itulah yang perlu disosialisasikan kepada orang-orang di desa-desa dan di tanah perantauan. Perantau haruslah menjadi motor gerakan ini. Pasalnya mereka memiliki hampir segala keunggulan dibandingkan dengan kaum kerabatnya yang bermukim di kampungnya. Relatif mereka lebih berpendidikan, lebih kaya, lebih ulet, lebih banyak pengalaman, lebih cerdik dan pintar. Sehingga potensi perantau yang besar itu harus mereka sumbangkan kepada orang tuanya, kaum kerabatnya dan para penduduk kampungnya tanpa kecuali.”
    Jadi pada saat diskusi intensif berkali-kali dan berjam-jam di ruang kerja Panglima Siliwangi itulah lahir istilah marsipature hutana be.
    “Kita bagi kerja, kau menulis dan saya menyediakan dana penerbitannya,” kata Mayjen TNI Raja Inal Siregar singkat.
    “Ya,” jawab saya singkat pula.

    Maka istilah marsipature hutana be itu pun dicanangkan oleh Mayjen TNI Raja Inal Siregar pada saat peluncuran buku Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak: Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola Mandailing di Madura Room Hotel Indonesia pada tanggal 18 September 1987.

    Hadir dalam acara peluncuran dan bedah buku itu 100 tokoh yang berasal dari Tapanuli, antara lain tiga orang mantan Gubernur Sumatera Utara: S.M. Amin, Maraha Halim Harahap dan E.W.P. Tambunan. Hadir Dr. Abdul Harris Nasution dan Tahi Bonar Simatupang, dua orang tokoh pimpinan TNI. Hadir sejenak Jenderal Maraden Panggabean, dan banyak tokoh lainnya seperti A.E. Manihuruk, Midian Sirait, K.T. Sirait, August Marpaung, Bismar Siregar, Maurits Simatupang, Barlianta Harahap, Muhammad Rajab Ranggasoli, komponis Nortir Simanungkalit, dll.

    Kami bertiga, saya, Hotman M. Siahaan dan Ponpon Harahap berada di hadapan hadirin memaparkan isi buku ini. Sedangkan Mayjen TNI Raja Inal Siregar berpidato tentang asal muasal penulisan dan penerbitan buku ini. Pada saat itulah ia mengumumkan istilah marsipature hutana be sebagai salah satu cara pendekatan kebudayaan dalam melaksanakan pembangunan di Sumatera Utara.
    Harian berbahasa Inggris terbitan hari Sabtu 19 September 1987 memuat berita peluncuran itu disertai foto pada rubrik National and Regional News, pada halaman 3 dengan teks berita sebagai berikut:

    GATHERING FOR HARD WORK

    Maj. Gen. R.I. Siregar, the West Java/Siliwangi division commander as patron of the Willem Iskandar foundation last night hosted a gathering of about 100 public figures from Tapanuli (North Sumatra) to launch a newly published book on Batak Cultural Values, co-authored by Basyral Hamidy Harahap (seen addressing the meeting) and Hotman M. Siahaan (far right). Listening at the first row, from left: Gen. A.H. Nasution, former minister of national security and commander Siliwangi division Maj. Gen. R.I. Siregar, Lt. Gen. (ret.) T.B. Simatupang, former Chief of Staff Armed Forces, Marah Halim Harahap, former governor of North Sumatra, A.E. Manihuruk, and Maj. Gen. (ret.) A. Marpaung, former ambassador to Australia.
    The Willem Iskander Foundation is engaged in research od traditional values in Tapanuli that could be the under pinning of development in that region.

    Buku ini selain sebagian dijual melalui toko buku di Jakarta, Medan dan Pematang Siantar, juga didistribusikan kepada masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan dan dan kantor-kantor di Sumatera Utara.

    Pada awal tahun masa baktinya yang pertama sebagai Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, mendeklarasikan Gerakan Pembangunan Desa Terpadu Marsipature Hutana Be yang lebih terkenal dengan singkatan Martabe. Masyarakat Sumatera Utara sangat antusias bergabung dalam gerakan Martabe ini. Sampai kini, kita masih dapat menyaksikan nama berbagai toko, taksi, perusahaan dll. Memakai nama Martabe itu.

    Sosialisasi Martabe kepada penduduk dan perantau Sumatera Utara dilakukan oleh Raja Inal Siregar dengan cara yang sangat sederhana. Walaupun sederhana, namun hampir tidak ada alasan orang untuk tidak ikut serta membangun kampungnya masing-masing. Raja Inal Siregar menunjukkan, bahwa membangun kampung bagaikan melaksanakan shalat, ialah hanya anak-anak dan orang yang hilang ingatan yang terbebas dari melaksanan pembangunan di kampung masing-masing.

    Raja Inal Siregar menanyakan kepada hadirin setiap kali sosialisasi Martabe, apakah mereka sudah membangun kampungnya sendiri? Kalau sudah, apa saja yang dibangunnya? Apakah perantau sudah merehabilitasi rumah tua tempat dia dilahirkan dahulu? Berapa kali pulang ke kampung, apakah berkali-kali setiap tahun, satu kali setahun, satu kali dua tahun, satu kali tiga tahun, satu kali empat tahun, satu kali lima tahun, atau tak pernah lagi pulang kampung? Apakah pernah mengirim uang kepada orang tua atau kerabat lainnya di kampung? Berapa kali mengirim surat ke kampung, dan apa isi suratnya?

    Banyak lagi yang dikemukakannya agar orang tergugah membangun kampung tempat kelahirannya. Jika semua yang disebutkan di atas itu tidak pernah dilakukan oleh perantau, maka Raja Inal Siregar akhirnya menganjurkan kepada perantau supaya berdoalah semoga orang-orang di kampungnya bergiat membangun kampungnya sendiri.

    Selain itu Raja Inal Siregar juga berusaha mendorong persaingan sehat di antara para perantau yang berasal dari satu kampung untuk membangun kampungnya, atau persaingan sehat membangun kampung antar perantau dan penduduk kampung yang berdekatan. Sehingga penduduk Sumatera Utara berlomba-lomba membangun desanya lebih bagus dari desa tetangganya. Para perantau dihimbau agar merancang dan melaksanakan pembangunan masyarakat desanya sendiri. Masyarakat desanya pada hakikatnya adalah kerabat mereka sendiri. Jadi adalah merupakan perbuatan mulia dan terpuji, jika setiap perantau membantu kerabatnya sendiri agar dapat meningkatkan mutu kehidupan mereka.

    Perihal asal muasal gagasan Martabe itu saya kemukakan dalam berbagai kesempatan. Demikian juga Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar sering mengungkapkan di hadapan hadirin ketika melakukan sosialisasi Martabe, bahwa dirinya hanya berteriak-teriak tentang Martabe, sedang penggagasnya adalah Basyral Hamidy Harahap.

    Usai seminar bedah buku edisi Indonesia disertasi Dr. Lance Castles Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940, seseorang mendatangi saya dengan mengatakan, bahwa Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar sering mengungkapkan bahwa Basyral Hamidy Harahap adalah penggagas Martabe.

    Pembangunan Sebagai Horja

    Saya mengemukakan kepada Raja Inal Siregar, bahwa salah satu pendekatan yang pas untuk meraih partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa adalah dengan mengadopsi nilai-nilai yang terkandung dalam horja. Kata horja secara harfiah berarti kerja. Tetapi secara hermenetik (pemahaman makna), lebih bermakna daripada pengertian harfiah kerja. Masyarakat Batak memahami horja di dalam pengertian lahir dan batin.

    Suatu aktivitas yang bermakna horja adalah aktivitas ketika sedang berlangsung suatu upacara pesta menyatakan rasa syukur karena menerima anugerah hidup. Melangsungkan perkawinan di dalam masyarakat Batak adalah horja. Pesta kelahiran anak adalah horja. Membangun dan memasuki rumah baru adalah horja. Upaya gotong royong adalah horja.

    Di dalam melaksanakan horja, seluruh komponen Dalihan Na Tolu (DNT) turut mengambil bagian. Setiap unsur di dalam masyarakat berpartisipasi aktif. Mensukseskan horja adalah merupakan hak dan kewajiban. Bahkan warga masyarakat yang tidak diikutsertakan di dalam mensukseskan horja akan menuntut haknya untuk ikut, meskipun keikutsertaan itu sesungguhnya merupakan pengorbanan waktu, tenaga, dan dana. Namun pengorbanan di dalam mensukseskan horja adalah pengorbanan yang ikhlas dan tulus.

    Proses horja melibatkan seluruh aktivitas tatanan DNT. Kehadiran unsur-unsur DNT itu tampak jelas di dalam horja. Suhut (bahasa Toba dan Angkola Mandailing) adalah tuan rumah, orang yang mempunyai hajat untuk menyelenggarakan horja. Horja hanya dapat dilaksanakan apabila didahului musyawarah unsur-unsur DNT. Seluruh aktivitas horja haruslah berdasarkan kesepakatan bersama di dalam musyawarah DNT. Hak dan kewajiban setiap orang ditetapkan di dalam musyawarah DNT.

    Musyawarah DNT adalah upacara marhata di dalam masyarakat Toba, atau markobar dalam masyarakat Angkola Mandailing. Setiap orang yang ada di dalam majelis musyawarah itu memperoleh hak marhata, markobar untuk menyampaikan pendapatnya, tanggapannya dan pokok-pokok pikirannya. Berbicara menyampaikan pendapat adalah suatu jambar. Konsep jambar secara hermenetis adalah merupakan bagian yang harus diperoleh oleh seseorang di dalam setiap horja. Secara harfiah, jambar berarti sepotong daging yang dibagikan kepada setiap orang, sesuai dengan statusnya di dalam DNT.

    Jambar yang diberikan kepada hulahula /mora akan berbeda dengan jambar yang diberikan kepada dongan sabutuha / kahanggi, dan akan berbeda pula dengan jambar bagi boru / anak boru. Jambar wajib diberikan kepada setiap unsur. Jambar juga mencakup hak memberikan pendapat. Inilah yang disebut jambar hata.
    Berbicara mengemukakan pendapat, adalah hak bagi setiap orang. Meskipun pada akhirnya keputusan ada pada pihak hulahula / mora, tetapi mora atau hulahula wajib memberikan hak kepada siapa pun yang terlibat untuk menyampaikan buah pikirannya. Hak berbicara itu tetap diterima sekalipun merupakan ulangan atau persetujuan terhadap isi pembicaraan yang disampaikan oleh pembicara terdahulu. Setiap orang wajib mengutarakan pendapatnya. Inilah demokrasi yang tidak mungkin diliwatkan di dalam marhata atau markobar.

    Unsur lain selain dongan sabutuha / kahanggi, boru / anak boru, dan hulahula / mora adalah unsur cendekiawan, hatobangon, di kalangan masyarakat Angkola Mandailing, dan angka raja di dalam masyarakat Toba. Suara golongan cendekiawan ini harus didengar. Rekomendasi mereka dalam proses pengambilan keputusan merupakan unsur penting dalam pengesahan keputusan. Mereka adalah anggota masyarakat yang dianggap mumpuni, yang dituakan, para cerdik cendekia. Termasuk dalam kelompok ini di dalam masyarakat Angkola Mandailing adalah unsur ulama dan Ompu ni Kotuk, ialah tokoh yang arif bijaksana, tempat bertanya dan meminta petuah. Kelompok ini dikenal di dalam masyarakat Toba sebagai raja-raja adat.

    Proses pengambilan keputusan di dalam horja selalu melibatkan unsur-unsur tersebut di atas. Sekalipun suhut atau yang mempunyai hajat untuk melaksanakan horja telah memiliki kata putus, tetapi suhut wajib mendengarkan pendapat seluruh pembicara dan mendengarkan seluruh hasil musyawarah. Dengan kata lain, suhut wajib mengadakan upacara marhata atau markobar itu. Seluruh keputusan yang diambil dalam musyawarah adat itu, harus dilaksanakan di dalam horja. Seluruh prosedur dan proses horja adalah seluruh prosedur dan proses yang telah dibicarakan dan disepakati di dalam marhata atau markobar.

    Pembangunan adalah horja. Apapun prioritas pembangunan, setiap upacara yang dilakukan di dalam pembangunan seyogianya dilaksanakan di dalam pemahaman konsep horja. Para agen pembangunan haruslah mampu menangkap makna pembangunan sebagai horja di dalam penerapannya. Pembangunan yang didefinisikan secara operasional di dalam makna horja akan membangkitkan potensi partisipasi yang bersifat emansipatoris. Dengan demikian, warga masyarakat akan memberikan pengorbanan tanpa pamrih.

    Pemerintah adalah suhut yaitu unsur yang sedang melangsungkan horja pembangunan. Suhut sebagai tuan rumah yang mempunyai hajat melaksanakan pembangunan sebagai horja. Suhut mendengar semua pihak, memberikan hak kepada setiap orang untuk memberikan pendapatnya. Suhut membuka peluang kepada unsur-unsur pimpinan non-formal, cerdik cendekia, pemuka masyarakat di dalam pengertian yang sebenar-benarnya sebagaimana horja dilakukan.

    Konsep pembangunan seperti itu layak dikembangkan oleh setiap agen pembangunan di wilayah Tapanuli, wilayah ekologi budaya Batak. Tanpa upaya seperti itu, maka pembangunan adalah instruksi dan menutup peluang kearah emansipasi. Revitalisasi kultural seperti itu layak dipertimbangkan untuk dilakukan oleh agen pembangunan di lingkungan ekologi budaya Batak khususnya di Tapanuli.

    Revitalisasi unsur-unsur struktur sosial seperti itu jika dilaksanakan, akan lebih merupakan upaya untuk menggali potensi budaya dan sumber daya manusia, yang sebagai potensi, akan merupakan daya penggerak roda pembangunan yang dahsyat. Potensi itu akan memaknai pembangunan dalam pengertian manusia sebagai subyek dan obyek pembangunan sekaligus. Lagi pula, pembangunan akan berlangsung di dalam gagasan-gagasan yang tidak mengalami distorsi dan berlangsung di dalam pengertian kontekstual suatu proses humanisasi.

    Pembangunan sebagai suatu bentuk perubahan, di dalam batas-batas tertentu akan berlangsung dengan membangkitkan kesadaran kritis di dalam masyarakat. Kesadaran kritis bagi masyarakat Batak merupakan potensi yang tertanam di dalam seluruh tatanan hidupnya. Hal itu terwujud di dalam munculnya opini-opini, skeptisisme, hingga pada kenyinyiran. Pendeknya, kesadaran kritis berlangsung di dalam konteks yang positif hingga negatif.

    Potensi kesadaran kritis seperti itu membutuhkan suatu bisuk, wisdom, kearifan di dalam seluruh upaya-upaya pembangunan, tanpa meredam potensi kesadaran kritis tersebut. Penyaluran kesadaran kritis secara institusional adalah penyaluran di dalam kerangka kultural, dengan melihat seluruh proses kelembagaan budaya (baca adat). Markobar, marhata, adalah suatu lembaga adat tradisional yang di dalam kenyataannya, merupakan lembaga sosialisasi dari munculnya kesadaran kritis itu. Pendayagunaan lembaga tradisional untuk medium dari kesadaran kritis tersebut merupakan langkah yang patut dikembangkan.

    Inilah sekelumit cerita tentang lahirnya gagasan Martabe. Uraian ini tidak menyangkut bagaimana liku-liku dan suka duka pelaksanaan Martabe, termasuk kegagalan dan kesuksesannya. Sebab tulisan ini hanya menyinggung latar belakang lahirnya gagasan Martabe.

    Semoga sumbangan gagasan Martabe ini bermanfaat bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Sumatera Utara.
    Raja Inal Siregar telah tiada, namun gerakan Martabe telah mencatatkan namanya dengan tinta emas dalam perjalanan sejarah Sumatera Utara.

    Rawamangun, 12 Desember 2007
    SUMBER :MARTABE

      Waktu sekarang Mon Apr 29, 2024 3:24 am